Argopuro, merupakan salah satu gunung yang mempunyai jalur pendakian terpanjang yang pernah kami lalui. Gunung dengan total waktu pendakian kurang lebih lima hari empat malam ini berhasil membuat kami menjadi manusia yang benar-benar mensyukuri banyak hal. Bukan hanya dari eloknya pemandangan yang disuguhkan di setiap jalur perjalanan, namun juga adanya bahaya yang mengancam dari arah yang tak terduga-duga. Petualangan berbasis pendakian yang dilakukan oleh 13 orang perwakilan Mapala Gegama pun dimulai.
Pendakian dimulai dari basecamp Baderan yang berada di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Total pospendakian yang akan digunakan sebagai tempat menginap saat malam berjumlah empat pos. Pos Mata Air 1 menjadi tempat kami bermalam pada hari pertama setelah melalui perjalanan yang sangat panjang. Diperlukan waktu sekitar 9 jam perjalanan kaki dari Basecamp Baderan menuju pos ini. Trek perjalanan di hari pertama cukup bervariasi mulai dari jalur baru hasil kerukan alat berat hingga hutan. Waktu menunjukkan pukul lima sore saat kami tiba di Pos Mata Air 1. Pos ini berada di tepian jurang yang dalam dengan kondisitanahdatar yang tak begitu luas. Seusai dengan namanya, pos ini memiliki sumber mata air yang bias digunakan oleh pendaki untuk menyetok persediaan air. Lelah yang tak tertahankan memaksa kami untuk harus segera beristirahat demi melanjutkan perjalanan esok hari. Setelah makan malam, evaluasi, dan briefing, tak ada satu orang pun yang tahan untuk menikmati malam di Argopuro, semua lelap dalam tidurnya. Dan di tempat inilah kami mulai menyadari, kenikmatan paling sederhana pun bias kau temui dalam balutan bunga tidur.
Perjalanan pada hari kedua menjadi perjalanan yang paling dinantikan. Bagaimanatidak? Tujuan kami kali iniadalah Savana Cikasur yang terkenal akan keindahannya. Savana ini terbentang luas di area yang datar dengan satwa endemik yang jarang ditemui manusia, yaitu merak. Diperlukan waktu sekitar 8 jam untuk mencapai Cikasur dengan trek perjalanan yang naik turun. Banyak savana-savana kecil yang sangat memanjakan mata kami dalam perjalanan menuju Cikasur. Sayangnya dibalik semua keindahan itu, kelestarian alam pun masih terganggu oleh aktivitas warga lokal yang sering mondar-mandir menggunakan motor menuju Cikasur. Bagi beberapa pendaki, hal ini mungkin tidak dianggap sebagai masalah karena waktu pendakian mereka yang bias dihemat dengan jasa ojek. Namun bagi pendaki berbasis pencinta alam, hal ini sangatlah disayangkan.
Sekitar pukul empat sore kami tiba di Cikasur dengan perasaan yang benar-benar bahagia. Jejak kaki pertama kami pun telah disambut oleh eloknya langit sore Argopuro dan indahnya entitas bernama merak. Langit sangat berpihak kepada kami di hari itu hingga saat malam penuh gemintang. Kali ini perjalanan kami sedikit lebih cepat sehingga jadwal istirahat bias dilakukan lebih awal. Berbeda dengan pendakian gunung lain yang pada umumnya menghabiskan waktu dua-tiga hari sehingga keperluan foto-foto dilakukan habis-habisan, disini kami cenderung menghemat daya ponsel dan kamera kami demi kepentingan-kepentingan lain. Perbincangan tatap muka pun mendominasi disetiap perjalanan. Dan disinilah, kenikmatan bersosialisasi benar-benar kami temukan. Saat tak ada pandangan yang tertunduk, saat tak ada lensa yang merekam, hanya ada kita dan kata-kata yang terucap secara spontan, suasana pun menjadi semakin hangat saat suhu udara semakin dingin.
Tujuan pada hari ketiga adalah Pos Rawa Embik yang terkenal sebagai tempat terdingin di Argopuro. Pos ini merupakan lembahan kecil yang berada diantara punggungan-punggungan bukit sehingga menyebabkan angin mengarah ke lembah. Perjalanan dari Cikasur menuju Rawa Embik membutuhkan waktu sekitar 8 jam dengan trek savana yang lebih mendominasi. Bermalam di RawaEmbik merupakan pengalaman yang menyenangkan juga cukup menyusahkan. Suhu yang sangat dingin memaksa kami untuk memakai semua persediaan flysheet yang kami bawa. Selain itu tanah yang yang tidak begitu datar juga menyebabkan posisi tidur menjadi kurang nyaman. Namun siapa sangka berada di lembah yang sempit justru memberikan kami pemandangan langit penuh bintang yang sangat luas. Sekali lagi mata kami dimanjakan oleh ciptaan Tuhan dengan bebasnya.
Hari keempat menjadi hari paling bersejarah untuk kami selama di Argopuro. Perjalanan di hari ini berjalan lebih lama dari biasanya, bahkan sangat melebihi estimasi waktu. Danau Taman Hidup yang menjadi tujuan menginap kami harus ditempuh melalui trek yang cukup berbahaya. Mulai dari curamnya jalur turun dari Puncak Argopuro danPuncakArca, serta men cekamnya suasana hutan lumut saat malam hari. Skenario mengestimasikan kami tiba di Danau Taman hidup pada pukul lima sore hari, namun nyatanya kami tiba pada pukul tujuh malam. Walau tak dituliskan dalam peraturan di basecamp, namun para pendaki paham akan bahaya melalui hutan lumut saat malam hari. Lokasi hutan yang dekat dengan danau sebagai sumbe rmata air umumnya digunakan oleh hewan buas sebagai tempat tinggal. Perjalanan pun dilakukan dengan penuh kewaspadaan walau kondisi tubuh yang kelelahan nampak di raut wajah sebagian besa ranggota. Hingga akhirnya kami sampai di lokasi tujuan, rasa syukur memenuhi hati kami karena masih diberi kesempatan untuk melihat hari esok.
Hingga tiba pada hari terakhir petualangan, merupakan hari yang dinantikan oleh seluruh anggota. Ya, tujuan kami kali ini bukanlah savana, hutan, maupun lokasi indah lainnya, melainkan peradaban. Hari kelima, ego kami benar-benar diuji karena ketersediaan air bersih yang sedikit sedangkan perjalanan membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Manajemen air untuk minum diatur sangat ketat agar anggota tidak dehidrasi selama perjalanan. Setiap satu jam berjalan kaki, satu botol air mineral 600 ml dibagi rata untuk 13 orang dan untuk dua kali minum. Betapa pentingnya keegoisan perlu ditekan agar kami mampu bertahan hingga akhi perjalanan. Pukul empat sore kami tiba di Basecamp Bermi yang berada di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dengan kondisi yang benar-benar kewalahan. Akhir dari petualangan menjadi lebih bermakna karena segala peristiwa mampu dilalui dengan rasa kebersamaan. Dan satu hal yang benar-benar penting untuk diketahui, “Sejauh apapun petulangan dilakukan, rumah adalah tempat terbaik untuk pulang”. (/Artha)