MAPALA GEGAMA UGM Sampai Batas Kami Tak Mampu Lagi
Sampai Batas Kami Tak Mampu Lagi

Beach Climbing

Jumat sore, tertanggal 19 Juni 2018. Saat itu aku dan beberapa teman yang juga merupakan  Mapala GEGAMA berangkat menuju Pantai Siung. Bukan sekedar beachcamp, di pantai tersebut kami akan melakukan kegiatan operasional pendidikan lanjut panjat. Walaupun aku sendiri bukan anggota divisi panjat tebing akan tetapi untuk operasional bertema “dolan”, apasih yang enggak? Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari 2 malam sehingga kami akan kembali lagi dari Pantai beserta Tebing Siung menuju Fakultas Geografi pada hari Minggu siang.

Luar biasanya kami memilih tanggal yang secara tidak sengaja bertepatan pada puncak gelombang tinggi di Pantai Selatan Jawa. Setibanya di Pantai Siung, kami melihat bukti dahsyatnya gelombang di pantai tersebut dari hancurnya warung-warung di pinggir pantai. Bahkan pasir pantai pun dapat tersebar sampai ke parkiran motorkarena terbawa oleh ombak pantai. Sebagian kamar mandi umum rusak, aliran airnya tidak bisa lagi keluar dan bahkan pintu-pintunya pun telah musnah. Tumbuhlah imajinasi dalam benakku ombak besar yang membawa tenda-tenda kami bak video ombak pantai selatan di Instagram yang sedang viral-viralnya. Namun, malam itu tetap syahdu. Kami bercanda tertawa riang sambil menunggu sebagian teman yang datang menyusul dari jam 10 malam hingga 2 pagi. Setelah teman-teman yang menyusul datang, kami pun bersiap untuk tidur. Malam itu suara dentuman ombak yang menabrak tebing benar-benar membuat kami was-was.

Kami memulai pagi hari dengan memasak menu untuk sarapan. Sembari menunggu masakan matang, beberapa anggota divisi panjat melakukan pemasangan jalur dengan menaruh runner pada anchor di jalur sebelah kanan pada tebing yang menghadap timur. Ada empat runner yang dipasang hingga mencapai teras. Peserta panjat tebing yang mengikuti operasional dikjut panjat ini dengan alasan beachcamp dipersilahkan untuk melakukan pemanjatan dengan teknik sport sesuai rundown yang telah dipersiapkan oleh koordinator lapangan. Setelah pengaman pada jalur yang akan digunakan pemanjatan telah selesai dipasang dan dilanjutkan dengan matangnya masakan yang telah membuat kami lapar, seluruh anggota pun berkumpul di tengah-tengah tiga tenda kami. Kuah hangat sayur sop dan tempe goreng yang luar biasa nikmat kami serbu habis-habisan sebelum melakukan pemanasan pada pagi yang cerah dengan ombak yang mulai bersahabat.

Aku termasuk ke dalam peserta yang hanya melakukan pemanjatan dengan menggunakan teknik sport. Pada saat yang sama, teman-teman divisi panjat secara khusus juga melakukan pemanjatan dengan teknik artificial di sebelah jalur teknik sport. Sembari menunggu giliran naik aku memotret teman-teman yang sedang memanjat dan kemudian akhirnya aku siap untuk menyentuh kapur-kapur itu di tebing tersebut. Memang ini bukan pertama kalinya bagiku melakukan pemanjatan di Tebing Siung tapi untuk jalur yang satu ini, aku belum pernah sama sekali mencobanya. Bentuknya yang terlihat cembung membuatku sangat takut untuk memulai. Namun syukurlah, ambisiku untuk dapat menyentuh tanaman yang merambat di top dapat mengalahkan sifat ‘cupu’ ku.

“Bilay On” kataku yang menandakan bahwa aku siap untuk memulai panjat.

“On Bilay” jawab bilayerku, menandakan bahwa aku sudah aman untuk melakukan pemanjatan.

Lubang-lubang tembus dan bentukan karst yang terbentuk di tebing atau apapun itu kuraih sekuat tenaga. Posisi yang tepat saat melakukan panjat tebing atau panjat dinding adalah posisi badan yang mendekat pada bidang panjat serta kaki yang menumpu pada pijakan yang ada. Tangan yang menjadi bagian tubuh paling berpengaruh pada olahraga ini, diusahakan untuk tidak terlalu lama ditekuk sehingga beban badan tidak seutuhnya disangga oleh si tangan, si kaki pun juga berperan dalam menahan beban tubuh. Setelah aku melewati rintangan terberat yang berbentuk semacam cembungan vertikal, aku pun mampu memanjat lebih lancar karena jalur setelahnya cenderung lebih mudah dipijak dan digenggam.

Yay akhirnya aku sampai di puncak! Pemandangan Pantai Siung dari atas puncak tebing sungguh luar biasa indah. Lautan biru ditambah pepohonan di tepi pantai serta batuan karang besar yang ada disekitar tebing yang kupijak sungguh menjadi perpaduan keindahan yang sempurna. Ditambah angin laut yang terhempas dari laut ke darat membuatku sadar bahwa usaha akan memberikan hasil yang sepadan. Bahkan aku tak rela turun hanya untuk beberapa menit menikmati cantiknya secuil dunia sampai aku diminta untuk melakukannya oleh teman-teman di bawah tebing.

Di waktu siang hari menuju sore, tiga anggota dari divisi panjat menerapkan materi multi-pitch. Materi ini dilakukan untuk pemanjatan yang memiliki medan atau jalur yang panjang sehingga alat mengalami keterbatasan dan komunikasi antar leader-bilayer tidak berjalan dengan lancar. Sebagai anggota dari divisi arung jeram, aku terkagum-kagum melihat tiga temanku yang berhasil menaklukan 2 pitch tebing. Kekompakan dan koordinasi yang baik antar personil menjadi faktor utama dalam teknik pemanjatan ini. Walaupun pada saat pemanjatan leader bekerja paling banyak. Namun, tentu tanpa komunikasi yang baik antara leader dan bilayer, pemanjatan akan berlangsung dengan sangat sulit. Motivasi-motivasi yang diberikan bilayer saat leader sudah mulai lelah pun terkadang menjadi bahan bakar untuk dapat terus naik ke titik yang lebih tinggi.

Setelah semua selesai melakukan pemanjatan dan cleaning jalur, kami pun istirahat dan makan malam. Tahu tuna, tempura serta sosis menjadi santapan kami dalam malam bakar-bakar. Kami membakar segala bahan makanan dengan besi hanger baju karena kami tidak membawa alat pembakaran. Malam itu begitu syahdu diiringi dengan alunan gitar yang menambah kehangatan api diantara sekat-sekat lingkaran manusia yang sedang menunggu matangnya sosis, tempura dan tahu bakar. Ya, kami lebih ingat untuk membawa gitar dibandingkan membawa alat pembakaran. Tapi hal ini justru menjadi kesan dalam beach-climb kala itu walaupun akhirnya keluputan tersebut menjadi evaluasi untuk kegiatan selanjutnya.

Hari ketiga. Hari terakhir ini diisi dengan pemberian materi peta jalur panjat. Peta jalur panjat memberikan informasi umum terkait jalur yang dipanjat ditambah dengan informasi pengaman yang dipasang. Informasi umum jalur antara lain nama jalur, lokasi, nama tebing, waktu pemanjatan, nama leader dan bilayer, teknik pemanjatan, jenis tebing, dan sebagainya. Setelah pemberian materi ini, kami pun packing untuk pulang ke sekre GEGAMA.

Selama perjalanan pulang, aku memikirkan satu hal tentang filosofi panjat tebing. Perihnya dan sakitnya memanjat batuan keras nan tajam itu adalah hal yang dapat menjadi pelatih kita untuk dapat menahan beban. Bukan tentang mencapai puncak tetapi tentang bagaimana kita menyikapi masalah dalam jalur hidup yang diberikan Tuhan. Semakin sering kita dihadapkan oleh jalur yang terjal bahkan tanpa pijakan sekali pun ,maka semakin mudah pula kita untuk mensyukuri arti dari jalur yang miring dan tanpa masalah. Semangat memanjat,para pemanjat!