MAPALA GEGAMA UGM Sampai Batas Kami Tak Mampu Lagi
Sampai Batas Kami Tak Mampu Lagi

ANAK DAN HIPERREALITAS ALAM

“Alam menginsprasi kreatifitas seorang anak dimana visualisasi dan seluruh panca inderanya bekerja…Di alam, anak menemukan kebebasan, fantasi, keleluasaan pribadi”(Last Child in The Woods, Richard Louv)

Tulisan ini adalah tentang anak-anak Indonesia dan juga orang dewasa yang lebih banyak menghabiskan waktu dalam “simulasi”, dibandingkan dengan “dunia nyata”. Jika fenomena ini yang terjadi maka impilkasinya tidak hanya pada anak-anak kita saja, tapi juga pada masa depan masyarakat kita.

 

Hiperrealitas dalam Keluarga

Hiperrealitas adalah teori filosofi dalam ilmu komunikasi yang juga diadopsi oleh ranah ilmu psikologi. Hiperealitas adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard yang mengemukakan bahwa kita telah masuk dalam sebuah dunia dimana media seperti TV dan komputer telah menciptakan suatu budaya simulasi dimana “hyperreal” mengambil alih dunia nyata.  Perubahan gaya hidup keluarga Indonesia, terutama di kota-kota besar, menjadikan hiperrealitas ini mendominasi pengalaman hidup anak-anak. Efeknya bagi anak-anak ini adalah mereka tidak mampu membedakan kenyataan dan fantasi; anak-anak merasa hiperrealitas lebih menyenangkan dan nyaman ketimbang realitas.

 

Kehidupan keluarga modern di kota-kota besar semakin dinamis. Kemacetan lalu lintas, kesibukan pekerjaan, jam sekolah anak yang semakin panjang berikut PR dari sekolah, adalah beberapa faktor yang menyebabkan waktu bersama keluarga semakin sedikit. Akhir pekan dan libur sekolah menjadi satu-satunya tumpuan waktu dimana keluarga bisa menghabiskan waktu bersama. Pilihan menghabiskan akhir pekan di alam, seperti berkemah, main ke sungai, bermain di hutan, atau sekedar jalan santai di kebun dekat rumah, semakin dianggap tidak praktis, panas, dan tidak keren. Pilihan yang lebih menarik bagi keluarga di akhir pekan adalah menonton TV, bermain games on line atau yang sudah diunduh dalam tablet, online di media sosial, atau jalan-jalan ke mall.

Dengan alasan kenyamanan, kemudahan, dan keterbatasan waktu inilah maka orangtua membawa anak-anaknya pada situasi hiperrealitas. Jika dulu anak-anak bermain di sungai, di era teknologi ini pengalaman bermain di sungai digantikan dengan simulasi menonton acara TV tentang liputan anak-anak bermain di sungai, seperti Bolang (Bocah Petualang) atau di saluran TV berbayar seperti Discovery Channel. Pusat perbelanjaan (mall) juga giat menarik pengunjung (keluarga) di akhir pekan dengan mengadakan kegiatan bertema “alam”, misalnya “Jungle at the Mall X”. Kegiatan berada dialam sebenarnya yang identik dengan baju basah atau berkeringat dan kaki berbalut tanah basah, dikemas dalam simulasi kegiatan alam dalam ruang berpendingin udara yang sejuk, tanpa kotoran tanah, dan jaminan anak tetap wangi dan bersih. Kegiatan “alam” di mall ini memanjakan orangtua yang juga ingin santai setelah sibuk dengan pekerjaan. Anak-anak ini berada dalam simulasi dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis. Menonton acara TV tentang kegiatan di sungai dan ikut kegiatan “Jungle at the Mall”, bagi anak yang mengalami hiperrealitas, akan sama nyatanya dengan berbasah-basahan di sungai dan berlarian diantara pepohonan di hutan.

Hiperrealitas juga mendominasi pengalaman anak melalui games komputer dan gadget. Pengalaman nyata bertelanjang kaki berada di pasir pantai digantikan oleh pengalaman palsu games elektronik, yang berlabel edukatif, mencari kerang di pasir. Tidak heran jika di pantai kita temui anak-anak yang hanya ingin digendong, menolak bermain pasir di pantai, bahkan tantrum karena risih (bahkan jijik) jika telapak kakinya menyentuh pasir pantai.

Kesulitan lepas dari dunia palsu ini juga masuk dalam keluarga. Mereka memang benar berada di alam, seperti sungai, pantai, atau gunung, tapi seluruh keluarga sibuk dengan gadget ditangan masing-masing. Isi gadget ini dianggap lebih nyata dibandingkan dengan realitas berada di alam bersama anak-anak, istri, dan suami. Berkegiatan bersama di alam terbuka tidak semenarik games yang dimainkan oleh anak, kalah seru dengan komentar teman-teman di media sosial setelah mengunggah foto “bersama keluarga berada di alam”, atau ikut memberi komentar dalam topik seru di grup Whattsapp. Makin sering keluarga melakukan ini, semakin terikat pula keluarga dengan hiperrealitas.

 

Hiperreality dan Nature-Deficit Disorder

Ketidakmampuan membedakan kenyataan dan fantasi ini salah satunya berakibat pada nature-deficit disorder (dibahas dalam bukunya Richard Louv, 2005, Last Child in The Woods) yaitu manusia, terutama anak-anak, yang menghabiskan waktu sangat sedikit di luar ruang akan berakibat pada berbagai masalah perilaku. Berdasarkan berbagai penelitian ilmiah, nature-deficit disorder menyebabkan semakin tidak pekanya panca indera anak, kesulitan perhatian, berbagai kondisi obesitas, dan semakin tingginya tingkat penyakit fisik dan emosi pada anak. Penelitian juga menunjukkan bahwa nature-deficit disorder melemahkan literasi ekologi dan rasa kepedulian terhadap alam bebas.

Anak-anak sejatinya selalu penasaran tentang dunia disekitarnya, tapi bagaimana keingintahuan mereka ini diterima atau ditolak oleh orang dewasa disekitarnya, inilah yang akan membentuk pengalaman mereka selanjutnya. Tidak semua orangtua dan guru memahami pentingnya melingkupi anak-anak ini dengan lingkungan alam sebenarnya. Anak-anak membutuhkan keseimbangan pengalaman berada di alam sebenarnya dan alam buatan (taman kota). Pengalaman ini akan mendorong anak untuk menjadi mandiri, tidak pantang menyerah, menikmati alam, dan menghormati apa yang ada di alam.

 

Penulis: Rizal Umarella

Penulis adalah keluarga Ichal Umarella dari Yogyakarta. Sebagai keluarga homeschooler mandiri, mereka menjadikan alam sebagai ruang kelas belajar bagi kedua anaknya, Lala (12 tahun) dan Agil (7 tahun). Banyak berkegiatan di alam menginspirasi keluarga ini untuk membuat tulisan “Anak dan Hiperrealitas Alam”. Keluarga ini dapat dihubungi di ichal.amq@gmail.com